Seperti biasanya, setiap hari libur saya selalu mencoba utak-utik mobil sambil cek & ricek kondisinya. Siapa tahu ada yang tidak beres dan bisa segera diatasi saat itu juga, mumpung hari libur. Dengan celana pendek kesukaan — bahan tipis dan agak gombor — saya berangkat ditemani anak saya berumur 4 tahun. Biasa kalau hari libur ada tugas khusus momong anak, sambil cek & ricek mobil.
Setelah mobil saya starter eh bener, ternyata klason mobil tidak bunyi. Ketahuan saat anak saya mencet-mencet klason kok tidak bunyi. Ini pasti masalah kabel putus. Demikian analisa saya sambil memutuskan harus secepatnya ke bengkel.
Akhirnya saya pergi ke Bengkel langganan saya pagi itu juga. Eh, ternyata tutup karena lagi punya hajat kawinan. Terpaksa cari bengkel lain yang cukup jauh dari tempat tinggal saya.
Sampailah saya di bengkel Ogah Karya di pinggir jalan raya. Bengkel ini kalau dilihat dari luar, tanah atau bangunan lebih besar dibanding bengkel langganan saya yang hanya 60 meter persegi. Jadi, saya punya keyakinan bengkel ini pasti lebih baik dibanding bengkel langganan saya.
Karena hari masih pagi, sekitar jam 09.00, saya adalah orang yang kedua masuk bengkel itu. Begitu masuk bengkel, tidak ada seorang pun yang menyapa saya. Akhirnya saya turun dari mobil dan mendatangi pegawai yang lagi membersihkan ruangan tak jauh dari bagian kasir.
“Selamat pagi mbak, apa bisa membetulkan klason mobil saya?” tanya saya sambil melihat mimik muka penjaga kasir itu. “Tunggu dulu ya pak. Anak-anak montir sedang makan pagi,” sahut sang kasir tanpa melihat muka saya yang sudah siap menerima senyumannya.“ Payah bengkel cap apa ini,” gerutu saya dalam hati sambil menuju ruang tunggu yang disediakan.
Di ruang tunggu ternyata sudah ada orang pertama tadi yang sudah menunggu sambil membaca koran edisi kemaren. “Selamat pagi pak?,” sapa saya seraya duduk mendekatinya dan memperkenalkan diri. “Nama saya Boman pak, boleh tau nama bapak?” Saya coba mengakrabi. “Panggil saja saya Pak Kumis ‘orang sekampung sini pasti sudah kenal saya,” sahutnya dengan senyum khasnya.
“Rusak apanya pak kok pagi sekali?,” tegur saya lagi. “Ah enggak Dik Boman hanya mau Cun Up saja kok. Tapi, ya itu datang kesini ternyata belum ada yang melayani. Orang-orangnya ada yang lagi makan. Ada pula yang lagi mandi. Padahal, pintunya sudah dibuka dari jam 08.00. lho. Yah, karena sudah terlanjur masuk, duduk dululah disini, nyantai,” katanya sambil mengisap rokok kreteknya yang hampir habis.
Karena orangnya kelihatannya enak diajak ngobrol saya sengaja mendekat. “Siapa tahu ada informasi politik yang menarik saat ini,” kata saya dalam hati.
“Maaf pak, apa bapak sudah sering ke bengkel sini?” tanya saya membuka pembicaraan lagi. “Wah belum pernah Dik. Ini juga coba-coba siapa tahu lebih bagus dari bengkel langganan saya di seberang jalan sana,” ucapnya sambil menunjukkan telunjuknya diseberang jalan tidak jauh dari bengkel Ogah Karya ini.
“Wah kalau begitu sama dong. Saya juga baru kali ini. Soalnya bengkel langganan saya tutup, lagi punya hajatan,” sahut saya sambil melihat-lihat apakah montirnya sudah siap bekerja apa belum.
Memang kalau dilihat dari luas tanah dan penampilannya, bengkel Ogah Karya ini lebih bagus dari dua bengkel yang biasa saya dan pak Kumis pakai. Akan tetapi dari segi pelayanan tidak ada sama sekali gregetnya.
Sambil membolak-balik korannya, pak Kumis akhirnya buka mulut karena sudah tidak sabar lagi untuk mengungkapkan kekesalannya.“ Dik Boman, kenapa ya bengkel ini tidak maju-maju?” tanya pak Kumis serius. Padahal, bengkel ini lebih lama dan lebih besar dibanding bengkel langganan saya sana, lho.
Bagaimana bisa maju pak, pelayanan kepada konsumen saja tidak ada. Mungkin bengkel ini masih dimiliki oleh orang yang belum paham soal bisnis khususnya bidang jasa. Kalau yang punya saja tidak tahu apalagi karyawan bengkelnya, pak".
“Mereka belum menyadari bahwa aspek pelayanan kepada konsumen itu sangat penting untuk kemajuan usaha. Mereka belum menyadari pula bahwa mereka bisa terima gaji tiap bulan itu karena adanya konsumen. Semakin banyak konsumen yang datang kesini semakin banyak uang diterima bengkel, tentunya semakin banyak pula bonus buat mereka”.
Sedangkan untuk membuat konsumen datang kesini terus, mereka harus memberi pelayanan yang memuaskan kepada setiap konsumen yang datang. Jadi jangan sampai lepas lagi ke bengkel lain. Ini konsep dasarnya pak Kumis,“ jelas saya panjang lebar.
“Mereka benar-benar tidak tahu bagaimana melayani konsumen. Ini terlihat dari jam kerja mereka yang tidak tepat waktu. Waktu kita masuk ke bengkel, tidak ada seorang pun yang menyambut. Mereka membiarkan kita turun mobil dan masuk ke ruangan tunggu tanpa ada penjelasan kapan mobil akan dibetulkan”.
Pak Kumis hanya manggut-manggut. “Itu betul Dik Boman. Saya juga merasakan sendiri. Di bengkel saya dulu, saya seakan-akan merasa di bengkel saya sendiri. Semua montir ramah-ramah, dan memperlakukan saya ini seperti bapaknya saja”.
“Jadi, kadang-kadang soal biaya bukan menjadi persoalan lagi buat saya. Makanya, saya selalu ke bengkel sana,” timpal pak Kumis sembari bangkit dari duduknya karena melihat mobilnya sudah disentuh montir. “Yah mudah-mudahan ini yang pertama dan yang terakhir kali saya kesini Dik. Jangan sampai terulang lagi,” lanjutnya sebelum menutup obrolan pagi itu.
Saya akhirnya berpisah dengan pak Kumis karena montir yang satunya sudah membuka kap mobil saya. Sekarang saya harus menunggui sendiri.
Setelah di utak-utik, ternyata untuk membetulkan kabel klason cuma butuh waktu kurang dari 5 menit. Sementara saya sudah menunggu lebih dari 40 menit. “Gile, bengkel apaan ini,” gerutu saya sambil ketawa kecut dan menghampiri kasir untuk menyelesaikan pembayaran.
Setelah mobil saya starter eh bener, ternyata klason mobil tidak bunyi. Ketahuan saat anak saya mencet-mencet klason kok tidak bunyi. Ini pasti masalah kabel putus. Demikian analisa saya sambil memutuskan harus secepatnya ke bengkel.
Akhirnya saya pergi ke Bengkel langganan saya pagi itu juga. Eh, ternyata tutup karena lagi punya hajat kawinan. Terpaksa cari bengkel lain yang cukup jauh dari tempat tinggal saya.
Sampailah saya di bengkel Ogah Karya di pinggir jalan raya. Bengkel ini kalau dilihat dari luar, tanah atau bangunan lebih besar dibanding bengkel langganan saya yang hanya 60 meter persegi. Jadi, saya punya keyakinan bengkel ini pasti lebih baik dibanding bengkel langganan saya.
Karena hari masih pagi, sekitar jam 09.00, saya adalah orang yang kedua masuk bengkel itu. Begitu masuk bengkel, tidak ada seorang pun yang menyapa saya. Akhirnya saya turun dari mobil dan mendatangi pegawai yang lagi membersihkan ruangan tak jauh dari bagian kasir.
“Selamat pagi mbak, apa bisa membetulkan klason mobil saya?” tanya saya sambil melihat mimik muka penjaga kasir itu. “Tunggu dulu ya pak. Anak-anak montir sedang makan pagi,” sahut sang kasir tanpa melihat muka saya yang sudah siap menerima senyumannya.“ Payah bengkel cap apa ini,” gerutu saya dalam hati sambil menuju ruang tunggu yang disediakan.
Di ruang tunggu ternyata sudah ada orang pertama tadi yang sudah menunggu sambil membaca koran edisi kemaren. “Selamat pagi pak?,” sapa saya seraya duduk mendekatinya dan memperkenalkan diri. “Nama saya Boman pak, boleh tau nama bapak?” Saya coba mengakrabi. “Panggil saja saya Pak Kumis ‘orang sekampung sini pasti sudah kenal saya,” sahutnya dengan senyum khasnya.
“Rusak apanya pak kok pagi sekali?,” tegur saya lagi. “Ah enggak Dik Boman hanya mau Cun Up saja kok. Tapi, ya itu datang kesini ternyata belum ada yang melayani. Orang-orangnya ada yang lagi makan. Ada pula yang lagi mandi. Padahal, pintunya sudah dibuka dari jam 08.00. lho. Yah, karena sudah terlanjur masuk, duduk dululah disini, nyantai,” katanya sambil mengisap rokok kreteknya yang hampir habis.
Karena orangnya kelihatannya enak diajak ngobrol saya sengaja mendekat. “Siapa tahu ada informasi politik yang menarik saat ini,” kata saya dalam hati.
“Maaf pak, apa bapak sudah sering ke bengkel sini?” tanya saya membuka pembicaraan lagi. “Wah belum pernah Dik. Ini juga coba-coba siapa tahu lebih bagus dari bengkel langganan saya di seberang jalan sana,” ucapnya sambil menunjukkan telunjuknya diseberang jalan tidak jauh dari bengkel Ogah Karya ini.
“Wah kalau begitu sama dong. Saya juga baru kali ini. Soalnya bengkel langganan saya tutup, lagi punya hajatan,” sahut saya sambil melihat-lihat apakah montirnya sudah siap bekerja apa belum.
Memang kalau dilihat dari luas tanah dan penampilannya, bengkel Ogah Karya ini lebih bagus dari dua bengkel yang biasa saya dan pak Kumis pakai. Akan tetapi dari segi pelayanan tidak ada sama sekali gregetnya.
Sambil membolak-balik korannya, pak Kumis akhirnya buka mulut karena sudah tidak sabar lagi untuk mengungkapkan kekesalannya.“ Dik Boman, kenapa ya bengkel ini tidak maju-maju?” tanya pak Kumis serius. Padahal, bengkel ini lebih lama dan lebih besar dibanding bengkel langganan saya sana, lho.
Bagaimana bisa maju pak, pelayanan kepada konsumen saja tidak ada. Mungkin bengkel ini masih dimiliki oleh orang yang belum paham soal bisnis khususnya bidang jasa. Kalau yang punya saja tidak tahu apalagi karyawan bengkelnya, pak".
“Mereka belum menyadari bahwa aspek pelayanan kepada konsumen itu sangat penting untuk kemajuan usaha. Mereka belum menyadari pula bahwa mereka bisa terima gaji tiap bulan itu karena adanya konsumen. Semakin banyak konsumen yang datang kesini semakin banyak uang diterima bengkel, tentunya semakin banyak pula bonus buat mereka”.
Sedangkan untuk membuat konsumen datang kesini terus, mereka harus memberi pelayanan yang memuaskan kepada setiap konsumen yang datang. Jadi jangan sampai lepas lagi ke bengkel lain. Ini konsep dasarnya pak Kumis,“ jelas saya panjang lebar.
“Mereka benar-benar tidak tahu bagaimana melayani konsumen. Ini terlihat dari jam kerja mereka yang tidak tepat waktu. Waktu kita masuk ke bengkel, tidak ada seorang pun yang menyambut. Mereka membiarkan kita turun mobil dan masuk ke ruangan tunggu tanpa ada penjelasan kapan mobil akan dibetulkan”.
Padahal, meskipun kita ini coba-coba kesini, kalau pelayanannya memuaskan pasti akan kembali atau paling tidak kita akan ngomong baiknya kepada orang lain tentang bengkel ini. Iya kan, pak?. Apalagi dalam kondisi bisnis yang semakin kompetitif seperti sekarang ini, konsumen memiliki banyak pilihan. Kalau pelayanan jelek pasti akan ditinggalkan konsumen,” kata saya sambil melihat salah satu montir sudah mulai membetulkan mobil pak Kumis.
Pak Kumis hanya manggut-manggut. “Itu betul Dik Boman. Saya juga merasakan sendiri. Di bengkel saya dulu, saya seakan-akan merasa di bengkel saya sendiri. Semua montir ramah-ramah, dan memperlakukan saya ini seperti bapaknya saja”.
“Jadi, kadang-kadang soal biaya bukan menjadi persoalan lagi buat saya. Makanya, saya selalu ke bengkel sana,” timpal pak Kumis sembari bangkit dari duduknya karena melihat mobilnya sudah disentuh montir. “Yah mudah-mudahan ini yang pertama dan yang terakhir kali saya kesini Dik. Jangan sampai terulang lagi,” lanjutnya sebelum menutup obrolan pagi itu.
Saya akhirnya berpisah dengan pak Kumis karena montir yang satunya sudah membuka kap mobil saya. Sekarang saya harus menunggui sendiri.
Setelah di utak-utik, ternyata untuk membetulkan kabel klason cuma butuh waktu kurang dari 5 menit. Sementara saya sudah menunggu lebih dari 40 menit. “Gile, bengkel apaan ini,” gerutu saya sambil ketawa kecut dan menghampiri kasir untuk menyelesaikan pembayaran.
0 komentar:
Posting Komentar