Amang Dan Ayong, Mewujudkan Kreativitas Lewat Bisnis Kaus

Dua anak muda berkolaborasi demi mewujudkan obsesi mereka menyumbangkan sesuatu untuk kampung halaman. Mereka adalah Lalu Mauziarman Rafsanjani (24) dan M Khairul Akbar (24). Dengan proses kreatif, mereka merekam identitas lokal, seperti obyek wisata, kuliner, dan kosakata etnis Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, lewat produksi kaus.

Bagi Amang, panggilan untuk Lalu Mauziarman Rafsanjani (24), Nusa Tenggara Barat, khususnya Pulau Lombok, kaya potensi sumber daya alam. ”Kita tinggal menunggu ’orang gila’ dan kreatif untuk mengolahnya agar memberikan manfaat bagi orang banyak,” ujar Amang, mantan asisten dosen jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang.

Oleh karena itulah selulus kuliah dan kembali ke Lombok, dia merasa harus membawa ”sesuatu” yang bisa dibanggakan. Namun, untuk mewujudkan keinginannya itu diperlukan modal usaha, semangat, kerja keras, dan ”berkaca” pada merek produk terkenal.

”Kita juga memerlukan konsep awal yang terencana, produk yang punya karakter sebagai kekuatan utama, serta pangsa pasar yang dibidik. Kami memilih pasar kaum remaja dan mahasiswa,” kata Ayong, panggilan M Khairul Akbar, menambahkan.

Bersama enam rekan asal Lombok yang menekuni berbagai disiplin ilmu di Malang, Amang merintis bisnis urban fashion, seperti kaus, kemeja, dan topi pada November 2008. Mereka berbagi tugas sekaligus urunan modal usaha yang disisihkan dari kiriman orangtua.

Dengan modal awal yang terkumpul Rp 600.000, mereka lalu membuat kaus dengan desain khas kuliner Lombok, Bulayak The Sate dan Cidomo. Bulayak adalah penganan khas Lombok berbahan baku beras dan dibungkus daun kelapa, sedangkan cidomo merupakan kereta khas Lombok yang ditarik seekor kuda.

Dua produk desain kaus tersebut masing-masing dibuat selusin dan dijual dengan harga Rp 60.000 per potong. Penjualannya melalui online, selain langsung kepada teman-teman asal Lombok yang berkuliah di Malang. Dalam waktu singkat, produk mereka terjual habis.

Mereka pun semakin percaya diri. Desain yang lain pun dibuat, seperti kaus bertuliskan Lombok Solah Gati (Lombok indah sekali), Pelecing Island (pelecing adalah masakan berbahan kangkung dan berbumbu pedas), dan Godek (monyet).

Setiap desain itu diproduksi selusin dan kembali terjual habis dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Hasil penjualan kaus-kaus itu kemudian mereka gunakan untuk biaya produksi ulang desain-desain yang diminati konsumen.

Tahun 2009, empat rekan mereka memilih fokus kuliah, jadilah Amang dan Ayong yang meneruskan usaha ini sambil kuliah. Kerja sama keduanya semakin mantap mengingat Ayong adalah mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang yang punya kemampuan sebagai desainer. Dia pun peraih juara 1 Lomba Animasi Flash Olimpiade tingkat SMA/SMK se-Bali Nusa Tenggara 2007.

Sementara Amang punya ketertarikan pada seni fotografi. Karya dia pernah masuk 70 besar finalis Lomba Fotografi Jurnalistik Day 2010 yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Amang juga punya pengalaman bekerja di kafe dan menjadi penjaga stan produk kaus bermerek.

Upah dari bekerja sambilan dan honor sebagai asisten dosen lalu mereka sisihkan untuk menambah modal usaha. ”Ini termasuk untuk membeli,” kata dia.

Tahun 2010, lahir lagi desain baru, seperti Lombok Island, jaket hoodie dengan desain bertuliskan Mara’ Mayung Lombok (bagai kijang Lombok) dan sweater bergambar cidomo. Produk-produk tersebut diterima pasar dan diproduksi ulang beberapa kali.

Ketika itu, cerita Amang, aktivitas bisnis mereka masih berorientasi membangun pasar, belum sepenuhnya mengejar keuntungan.

Setelah menyelesaikan kuliah, Amang dan Ayong pulang kampung. Mereka pun melanjutkan usaha fashion yang dirintis di Malang dengan menyewa tempat berjualan di sebuah kompleks perumahan di Mataram, Lombok.

Ujar-ujaran lokal, seni dan tradisi etnis Sasak Lombok, Nusa Tenggara Barat, menjadi artikel yang diangkat dalam kaus produk Jegol. Amang menunjukkan produk kausnya yang bertuliskan ”Tampi Asih” (terima kasih), dan instrumen ”Gendang Belek” (gendang besar).

Lokasinya tidak strategis, tetapi Amang berprinsip, ”Ini ibarat makanan, jika racikannya enak pasti dicari orang.” Oleh karena itulah mereka tak hanya menambah desain, tetapi jenis produk pun bertambah seperti topi, jaket, dan gantungan kunci.

Prinsip awal pun tetap mereka gunakan dalam mendesain produk, yakni mengangkat ikon daerah setempat sebagai ciri khasnya. Mereka lalu mendesain kaus dengan gambar Pulau Lombok bertuliskan, antara lain, Lombok Hidden Paradise, Rinjani Mountain, Gendang Bele’: Sound of Peace (alat musik berupa sepasang gendang besar).

Selain itu, Amang dan Ayong pun mengangkat kembali motif-motif tradisional tenun Lombok sebagai desain produknya. Mereka juga berkreasi dengan mengambil idiom kata-kata lokal semisal Terune-Dedare (muda-mudi) dan Tampi Asih (terima kasih), yang memiliki nilai edukasi tentang sopan santun dalam berbahasa.

Produk kaus mereka yang berbahan katun itu dibanderol Rp 120.000 per potong, relatif mahal dibandingkan dengan kaus-kaus yang biasanya dijual seharga Rp 35.000-Rp 50.000 per potong.

Walau mahal, racikan kaus yang diibaratkan Amang ”makanan enak” itu memiliki konsumennya sendiri. Setiap hari ada saja anak muda yang membeli produknya, baik datang langsung ke toko maupun via internet.

Beberapa desain produk mereka, seperti kaus Rinjani Mountain dan Mara’ Mayung Lombok (seperti rusa Lombok), pun ”diekspor” ke Korea Selatan guna memenuhi permintaan tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Lombok di negeri ginseng itu. Amang pun dikirimi foto mahasiswa Indonesia di London yang mengenakan produknya bertuliskan Gendang Bele’.

Tak menyebutkan berapa omzetnya, jumlah produk mereka relatif masih kecil. Untuk sementara ini mereka hanya memproduksi 25 potong untuk setiap desain. Namun, dari produksi itu pun dengan sasaran terjual 40 persen sudah melebihi biaya produksi.

”Itu sudah termasuk honor untuk empat karyawan toko,” kata Amang yang menamai produknya Jegol, yang berarti gila-gilaan dalam arti positif.

Kegilaan Amang dan Ayong telah memberikan sumbangsih bagi dinamika perekonomian Kota Mataram. Produk mereka menjadi ajang promosi Lombok sebagai destinasi wisata. (as/kompas.com)

Sumber
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar